Semula para pakar tanah dari Eropa berpendapat bahwa gambut
tidak akan ditemukan di daerah tropika (seperti Indonesia) yang mempunyai
temperatur tinggi, dengan alasan bahan organik dari tetumbuhan akan cepat
terdekomposisi oleh jasad renik dan tidak terlonggok di daerah beriklim panas.
Akan tetapi dugaan tersebut ternyata tidak benar, karena Bernelot Moens dan Van Vlaardingen
pada tahun 1865 menemukan gambut di Karesidenan Besuki dan Rembang. Hasil
ekspedisi Yzerman di Sumatra tahun 1895 juga melaporkan adanya gambut di daerah
Siak, bahkan pada tahun 1794 John Andersen telah menyebutkan bahwa di Riau
terdapat gambut (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976). Kemudian baru pada tahun
1909 Potonie dan Kooders mengumumkan bahwa di Indonesia telah diketemukan gambut
pada berbagai tempat
(Wirjodihardjo dan Kong, 1950).
Berikut adalah proses pembentukan gambut:
Gambut terbentuk karena pengaruh iklim terutama curah hujan yang
merata sepanjang tahun dan topografi yang tidak merata sehingga
terbentuk daerah-daerah cekungan, Menurut Köppen, gambut banyak terdapat di daerah
dengan tipe iklim Af dan Cf dengan curah hujan lebih daripada 2500 mm/tahun tanpa ada
bulan kering. Dengan demikian vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan
baik, sehingga menghalangi masuknya sinar matahari yang akhirnya menyebabkan
kelembaban tanah sangat tinggi. Ketinggian daerah tersebut biasanya kurang
daripada 50 meter di atas permukaan air laut (berupa dataran rendah), tetapi dapat
juga terdapat di dataran tinggi dengan ketinggian lebih daripada 2000 meter di atas
permukaan air laut dengan bentuk wilayah datar sampai bergelombang dengan suhu rendah.
Pada daerah 5 cekungan dengan genangan air terdapat longgokan bahan organik.
Hal ini disebabkan suasana yang langka oksigen menghambat oksidasi bahan organik
oleh jasad renik, sehingga proses hancurnya jaringan tanaman berlangsung lebih
lambat daripada proses tertimbunnya. Dengan demikian terbentuklah gambut. Karena
adanya kelebihan lengas atau penggenangan air di daerah cekungan dengan
pengatusan buruk maka bahan organik yang terlonggok akan lambat terurai sehingga
terbentuklah gambut tebal. Pelapukan yang berlangsung sebagian besar
dilaksanakan oleh agensia anaerob, ganggang dan jasad renik lainnya. Tentang pembentukan gambut di Indonesia, pada zaman pleistosen
permukaan laut turun kurang lebih 60 meter di bawah permukaan air laut
sekarang. Pada waktu itu bagian timur Sumatra, Malaysia, bagian barat dan selatan
Kalimantan di hubungkan oleh selat Sunda, sedangkan bagian selatan Irian Jaya
menempati sebagian dari selat Sahul. Kemudian selama zaman holosin daerah-daerah
ini secara berangsur-angsur digenangi air laut. Naiknya permukaan air laut
menyebabkan naik pula permukaan air tanah di daerah pedalaman, maka lokasi dimana
air laut tidak dapat lagi ke daratan akan terbentuk rawa. Pada
cekungan-cekungan terjadi proses longgokan bahan organik yang berasal dari vegetasi rawa sehingga
terbentuklah
gambut. Pada cekungan yang dalam secara berangsur-angsur terjadi
penimbunan bahan organik sehingga akan terbentuk gambut tebal. Longgokan bahan organik tersebut tidak homogin melainkan
berlapis-lapis.
Watak gambut tergantung kepada macam vegetasi, iklim dan keadaan
lingkungan yang mendukungnya. Setiap generasi tumbuhan yang tumbuh menyusul
tumbuhan sebelumnya akan meninggalkan lapisan demi lapisan sisa bahan
organik yang diendapkan dalam paya dan rawa. Susunan urutan lapisan itu
berubah jika ada tumbuhan air disusul buluh dan rumput tertentu kemudian
semak-semak rawa dan akhirnya pepohonan hutan dengan tumbuhan alasnya yang menempati
bagian di atas lapisan gambut. Berdasarkan masyarakat tumbuhnya, gambut
dibedakan kedalam tiga jenis, yaitu gambut paya, gambut rawa dan gambut bog, sedangkan
berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi 4 yaitu gambut
seratan (gambut mentah yang paling sedikit terombak atau fibrik), gambut
lembaran (folik) yang terdiri atas dedaunan dan ranting-ranting yang terombak sebagian
(merupakan busukan atau seresah), gambut hemik (terombak sedang), dan
gambut saprik (terombak paling matang). FAO-UNESCO (1974), memilahkan gambut
menjadi tiga bagian yaitu gambut subur, gambut tidak subur dan gambut
permafrost dan 6 berdasarkan faktor pembentuknya, gambut dipilahkan menjadi
gambut ombrogen, gambut
topogen dan gambut pegunungan (Darmawijaya, 1980).
0 komentar:
Posting Komentar