Rabu, 09 November 2011

Hutan gambut di indonesia



Semula para pakar tanah dari Eropa berpendapat bahwa gambut tidak akan ditemukan di daerah tropika (seperti Indonesia) yang mempunyai temperatur tinggi, dengan alasan bahan organik dari tetumbuhan akan cepat terdekomposisi oleh jasad renik dan tidak terlonggok di daerah beriklim panas. Akan tetapi dugaan tersebut ternyata tidak benar, karena Bernelot Moens dan Van Vlaardingen pada tahun 1865 menemukan gambut di Karesidenan Besuki dan Rembang. Hasil ekspedisi Yzerman di Sumatra tahun 1895 juga melaporkan adanya gambut di daerah Siak, bahkan pada tahun 1794 John Andersen telah menyebutkan bahwa di Riau terdapat gambut (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976). Kemudian baru pada tahun 1909 Potonie dan Kooders mengumumkan bahwa di Indonesia telah diketemukan gambut pada berbagai tempat (Wirjodihardjo dan Kong, 1950).

Berikut adalah proses pembentukan gambut:

Gambut terbentuk karena pengaruh iklim terutama curah hujan yang merata sepanjang tahun dan topografi yang tidak merata sehingga terbentuk daerah-daerah cekungan, Menurut Köppen, gambut banyak terdapat di daerah dengan tipe iklim Af dan Cf dengan curah hujan lebih daripada 2500 mm/tahun tanpa ada bulan kering. Dengan demikian vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan baik, sehingga menghalangi masuknya sinar matahari yang akhirnya menyebabkan kelembaban tanah sangat tinggi. Ketinggian daerah tersebut biasanya kurang daripada 50 meter di atas permukaan air laut (berupa dataran rendah), tetapi dapat juga terdapat di dataran tinggi dengan ketinggian lebih daripada 2000 meter di atas permukaan air laut dengan bentuk wilayah datar sampai bergelombang dengan suhu rendah. Pada daerah 5 cekungan dengan genangan air terdapat longgokan bahan organik. Hal ini disebabkan suasana yang langka oksigen menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik, sehingga proses hancurnya jaringan tanaman berlangsung lebih lambat daripada proses tertimbunnya. Dengan demikian terbentuklah gambut. Karena adanya kelebihan lengas atau penggenangan air di daerah cekungan dengan pengatusan buruk maka bahan organik yang terlonggok akan lambat terurai sehingga terbentuklah gambut tebal. Pelapukan yang berlangsung sebagian besar dilaksanakan oleh agensia anaerob, ganggang dan jasad renik lainnya. Tentang pembentukan gambut di Indonesia, pada zaman pleistosen permukaan laut turun kurang lebih 60 meter di bawah permukaan air laut sekarang. Pada waktu itu bagian timur Sumatra, Malaysia, bagian barat dan selatan Kalimantan di hubungkan oleh selat Sunda, sedangkan bagian selatan Irian Jaya menempati sebagian dari selat Sahul. Kemudian selama zaman holosin daerah-daerah ini secara berangsur-angsur digenangi air laut. Naiknya permukaan air laut menyebabkan naik pula permukaan air tanah di daerah pedalaman, maka lokasi dimana air laut tidak dapat lagi ke daratan akan terbentuk rawa. Pada cekungan-cekungan terjadi proses longgokan bahan organik yang berasal dari vegetasi rawa sehingga terbentuklah
gambut. Pada cekungan yang dalam secara berangsur-angsur terjadi penimbunan bahan organik sehingga akan terbentuk gambut tebal. Longgokan bahan organik tersebut tidak homogin melainkan berlapis-lapis.
Watak gambut tergantung kepada macam vegetasi, iklim dan keadaan lingkungan yang mendukungnya. Setiap generasi tumbuhan yang tumbuh menyusul tumbuhan sebelumnya akan meninggalkan lapisan demi lapisan sisa bahan organik yang diendapkan dalam paya dan rawa. Susunan urutan lapisan itu berubah jika ada tumbuhan air disusul buluh dan rumput tertentu kemudian semak-semak rawa dan akhirnya pepohonan hutan dengan tumbuhan alasnya yang menempati bagian di atas lapisan gambut. Berdasarkan masyarakat tumbuhnya, gambut dibedakan kedalam tiga jenis, yaitu gambut paya, gambut rawa dan gambut bog, sedangkan berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi 4 yaitu gambut seratan (gambut mentah yang paling sedikit terombak atau fibrik), gambut lembaran (folik) yang terdiri atas dedaunan dan ranting-ranting yang terombak sebagian (merupakan busukan atau seresah), gambut hemik (terombak sedang), dan gambut saprik (terombak paling matang). FAO-UNESCO (1974), memilahkan gambut menjadi tiga bagian yaitu gambut subur, gambut tidak subur dan gambut permafrost dan 6 berdasarkan faktor pembentuknya, gambut dipilahkan menjadi gambut ombrogen, gambut topogen dan gambut pegunungan (Darmawijaya, 1980).

0 komentar:

Posting Komentar