Husnudzon atau berbaik sangka pada
siapapun adalah kunci kita bisa membangun hubungan baik dengan orang lain.
Rasulullah pun pernah mengatakan bahwa tingkatan ukhuwah yang paling rendah
adalah husnudzon. Sedangkan yang tertinggi adalah itsar (mendahulukan
kepentingan orang lain dibanding kepentingan sendiri)
Artinya, bahwa sebuah ukhuwah
(ikatan persaudaraan) akan terjalin indah bila satu sama lain saling mengerti
dan memahami. Tidak pernah terpikir dan terbersit perasaaan dendam, iri atau
kesal dengan perilaku orang lain. Jangankan dengki, iri saja pun tidak diperkenankan
oleh Allah. Bila kita sudah ada rasa su’udzon, berarti kita sudah melewati
syarat sebuah ukhuwah dapat terwujud.
Bagaimana kita bisa itsar kalau
husnudzon saja terasa begitu sulit?
Bagaimana kita bisa mengalah demi
orang lain jika berbaik sangka saja rasanya begitu susah?
Husnudzon terlihat seperti perkara
yang mudah, namun ternyata faktanya sangat sulit diaplikasikan. Lebih mudah
bersu’udzon (berburuk sangka) dibanding berbaik sangka. Karena memang syetan
terus menghembuskan nafsu dan egoisme kita untuk melihat kesalahan orang lain
seperti melihat gajah di pelupuk mata, dan mencari kebaikan orang lain seperti
mencari semut hitam di atas batu hitam (pas malem-malem, mati lampu pula)
Contoh kecil saja seringkali kita
alami. Misalnya ketika kita melihat ada orang lain yang perilakunya tidak kita
sukai, maka kita seakan-akan langsung berpikiran negatif bahwa orang itu memang
mengada-ada, suka cari perhatian, atau piktor piktor lainnya (piktor = pokiran
kotor). Padahal, bisa jadi dia melakukan itu karena terpaksa atau tidak
sengaja. Kita sebaiknya memikirkan 40 alasan yang mendasari ia bisa berbuat
seperti itu dan mencoba memahaminya.
Yang terjadi seringnya kita malah
ghibah alias gosssip(membicarakan keburukannya pada orang lain) dan tidak mau
berusaha memberi kesadaran pada orang itu. Kalo kita hanya sekadar bisanya cuma
bergosip gosip show (yang semakin digosok semakin siiip), maka orang itu tidak
akan pernah tau dan menyadari bahwa dirinya mungkin pernah berbuat salah. Dalam
Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 12 dijelaskan :
"Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu
adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah
sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di
antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang."
Masya Allah, begitu buruknya analogi
orang yang suka menggunjingkan orang lain, seperti memakan bangkai saudaranya
sendiri. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa kalau kita ngomongin orang, maka
dosa orang itu akan diambil sama kita. Jadi dosanya bisa-bisa double, malah
triple.
Terlepas dari seberapa besar dosa
yang akan kita dapatkan dengan kita selalu berburuk sangka dan mencari-cari
kesalahan orang lain, kemudian mempergunjingkannya kepada orang lain. Tetap
saja perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia yang akan membunuh diri
kita sendiri. Otomatis orang yang selalu berpikiran negatif, tidak akan pernah
puas dan tidak suka melihat orang lain bahagia. Walhasil, hatinya selalu
dipenuhi noda kebusukan untuk menghasut bahkan memfitnah. Hidupnya tidak akan
tenang dan tidak akan pernah merasa aman dan nyaman. Hidupnya selalu sengsara
dan menderita tekanan batin tingkat tinggi.
Oleh karena itu, marilah kita mulai
menata hati kita. Untuk selalu berpikir positif, untuk selalu berbaik sangka
pada saudara-saudara kita. Dengan membiasakan berhusnudzon, maka aktivitas kita
akan terasa lebih mudah untuk dijalani. Karena Allah akan selalu memberi jalan
kemudahan bagi hamba-hamba-Nya yang berusaha terus memperbaiki dirinya dan
memperbaiki sesama saudaranya dalam bangunan ukhuwah yang kuat dan kokoh.
Untuk membentuk sebuah bangunan
ukhuwah yang kokoh memang perlu tadhiyah (pengorbanan) yang tinggi. Untuk
menjalin persaudaraan memang butuh tahap yang sedikit demi sedikit. Dari tahap
ta’aruf (pengenalan), tafahum (saling memahami), takliful qulub (ikatan hati)
dan takaful, tadhiyah, serta ta’awun (toleransi, saling berkorban dan tolong
menolong).
Semuanya butuh proses dan kesabaran
yang tinggi. Semuanya butuh tahap dan komitmen yang teguh. Hanya pada Allah
kita berusaha dan bertawakkal.
0 komentar:
Posting Komentar